Tribratanewsjambi.com - Pernyataan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Terorisme DPR
RI Muhammad Syafii yang menyebut bahwa polisi adalah teroris yang
sebenarnya di Poso, dan Santoso tidak dianggap sebagai teroris, sangat
melukai perasaan aparat kepolisian yang sedang bertugas di daerah itu.
“Kami sangat menyesalkan pernyataan seperti itu. Polisi ada di Poso
karena perintah negara dan menjalankan amanat undang-undang,” kata
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng AKBP Hari Suprapto yang dihubungi di
Palu, Selasa malam.
Polisi di Poso, kata Hari, merupakan representasi negara sehingga tidak mungkin polisi menyakiti masyarakat yang tidak bersalah.
“Jadi kalau pak Muhammad Syafii menyebut bahwa polisi-lah teroris
yang sebenarnya di Poso, ini sangat melukai perasaan ribuan polisi yang
bertugas di sana,” kata Hari.
Muhammad Syafii seperti dikutip sebuah koran harian di Kota Palu yang
juga mengambil berita itu dari ROL, Selasa (26/7), antara lain
menyebutkan bahwa setelah meninggalnya Amir Mujahidin Indonesia Timur
(MIT) Santoso, suasana di Poso, sangat aman, tenteram dan tidak ada
persoalan. Itu karena polisi tak lagi di sana dan masyarakat di Poso
tidak menganggap kelompok Santoso sebagai teroris.
Bagi masyarakat Poso, kata Syafii, teror sebenarnya datang dari
aparat kepolisian sebab masyarakat di sana menyimpan dendam yang luar
biasa kepada polisi akibat banyaknya aparat yang melakukan pelanggaran
HAM berat.
Syafii juga menyebut bahwa jenazah Santoso disambut oleh ribuan orang
dari berbagai kalangan di Poso bahkan mereka membawa tulisan selamat
datang syuhada sementara di sisi lain, mereka menginginkan agar aparat
kepolisian angkat kaki dari kota mereka.
Hari Suprapto membantah pernyataan-pernyataan Muhammad Syafii bahwa
warga Poso tidak menginginkan polisi hadir di sana dan masyarakat
menyimpan dendam pada polisi, padahal sebaliknya, masyarakat sangat
senang dengan kehadiran polisi karena mereka merasa lebih aman dan
tenteram untuk beraktivitas sehari-hari.
Ia juga membantah ada ribuan warga orang menyambut jenazah Santoso di
Poso Pesisir dan membawa spanduk bertuliskan “selamat datang syuhada.
Yang benar adalah warga yang menyambut itu hanya sekitar 150-an orang.
Itupun kebanyakan mereka yang penasaran ingin melihat Santoso dan
mereka yang merasa terancam bila tidak hadir di penguburan serta
sebagian lagi petugas yang berpakaian preman.
“Warga yang betul-betul simpatisan Santoso yang hadir saat pemakaman paling-paling sekitar 50-an orang,” ujarnya.
“Spanduk bertuliskan selamat datang syuhada juga hanya ada satu yang diletakkan di kuburan,” kata Hari Suprapto.
Hari berharap semua pihak melihat dan memahami secara komprehensif
persoalan di Poso sebelum memberikan pernyataan agar upaya-upaya bersama
seluruh aparat keamanan dengan masyarakat untuk memelihara situasi Poso
yang aman dan tenteram serta toleran akan sesegara mungkin mencapai
hasil yang diinginkan.
Juru bicara Operasi Tinombala Poso itu juga mengharapkan peran serta
media untuk memberitakan hal-hal yang konstruktif mengenai kehadiran
aparat Polri dan TNI untuk menumpas gerakan terorisme di Poso.
“Saya kira, wartawan dengan kebebasannya yang dilindungi UU dan kode
etik jurnalistik memiliki tugas serta tanggung jawab yang sama dengan
polisi dan aparat negara lainnya yakni melindungi kepentingan
masyarakat, bangsa dan Negara sehingga terorisme dan pelaku teror
seyogianya menjadi musuh bersama,” ujarnya.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian saat berkunjung ke Palu, Rabu
(20/7) atau dua hari setelah tewasnya Santoso meminta masyarakat agar
tidak memberikan apresiasi kepada Santoso dan menganggapnya sebagai
pahlawan, karena dia dan kelompoknya melakukan banyak kejahatan dan
mengakibatkan orang yang tidak bersalah meninggal dunia.
“Mereka itu memenggal leher orang,” ujar Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.
(antara/Laershi)










