Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian yang sejatinya
ditujukan untuk internal Polri ternyata akhirnya justru beredar keluar.
Berbagai tanggapan dan penilaian yang menimbulkan kontroversi. Mulai
dari yang posisif, atau sebaliknya negatif berkembang bak snowball efect (efek bola salju) menggelinding tak tentu arah dan kemana saja.
Sesungguhnya, kontroversi kebijakan itu merupakan hal yang biasa saja,
akan tetapi harus dipastikan manfaat positif yang diperoleh kontroversi
tersebut harus jauh lebih besar dibanding dengan kontroversinya sendiri.
Kontroversi Surat Edaran Kapolri ini tentu saja harus dinilai positif
oleh internal Polri karena isu surat edaran ujaran kebencian akhirnya
menyita perhatian masyarakat.
Ketika perhatian masyarakat tertuju kepada surat edaran Kapolri,
akhirnya masyarakat menjadi sadar hukum, ternyata selama ini KUHP dan UU
lainnya telah mengatur dengan tegas konsekuensi hukum terhadap berbagai
macam tindakan dan perilaku hukum yang berkaitan dengan ujaran
kebencian.
Setidaknya, Surat Edaran Kapolri yang secara tidak sengaja diketahui
publik justru memiliki efek mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak
mudah mengeluarkan ujaran yang memiliki muatan kebencian.
Sekali lagi, pada konteks ini, Polri telah diuntungkan dengan adanya
kontroversi tersebut, karena masyarakat menjadi semakin tertib hukum,
yang hal ini berarti lebih menjamin stabilitas Kamtibmas.
Poin positif lainnya yang diperoleh Polri dari kontroversi Surat Edaran
Kapolri adalah ternyata para komentator termasuk pemerhati Polri,
politisi dan akademisi yang memandang negatif surat edaran tersebut,
termasuk para pengguna media sosial, akhirnya harus mengakui bahwa
setelah dianjurkan Kapolri untuk membaca konten Surat Edaran, ternyata
isinya justru jauh lebih humanis dan jauh lebih demokratis dibandingkan
dugaan para kritikus atau semata-mata pendekatan hukum itu sendiri.
Bahkan bisa dikatakan Surat Edaran tersebut justru memiliki dua dampak
positif sekaligus, yakni kepastian penegakan hukum dan memastikan
penegakan hukum tersebut dilakukan dengan pendekatan yang humanis dan
demokratis.
Kita coba lihat saja kejadian di Ponorogo. Pelaku ujaran kebencian
terhadap seorang Polantas dengan melakukan rekayasa foto dan menambahkan
percakapan yang sama sekali tidak pernah terjadi dengan maksud
melecehkan, memfitnah dan merendahkan martabat seorang anggota Polri,
jelas dapat dijerat sesuai dengan UU ITE dan KUHP.
Namun demikian, apabila penyidik berpedoman kepada SE Kapolri justru
langkah-langkah penegakan hukum akan dirasakan lebih manusiawi, karena
tidak langsung didekati dengan Undang-Undang, akan tetapi didahului
dengan upaya mediasi ataupun pemberian peringatan.
Secara umum dapat dikatakan, Polri telah mengambil langkah yang tepat
dengan tidak tinggal diam melihat fenomena ujaran kebencian yang
sesungguhnya telah diatur dan dilarang Undang-Undang.
Mengingat, berdasarkan pengalaman-pengalaman selama menjalankan tugas
menjaga stabilitas Kamtibmas, Polri tidak jarang berhadapan dengan
konflik sosial dan konflik SARA yang dipicu oleh berkembangnya ujaran
kebencian, yang kemudian berkembang menjadi konflik sosial dan berdarah
yang merugikan perekonomian, ketenangan dan kerukunan hidup di
tengah-tengah masyarakat.