Dr. Sahuri Lasmadi, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Univesitas Jambi) |
Catatan Hukum Kasus Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Novel Bawesdan terkait dengan Deponeering
Opini Publik atas Kasus Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Novel Bawesdan yang ditetapkan sebagi tersangka Oleh Penydik Polri dikatakan sebagai tindakan kriminalisasi, karena dianggap bernuansa politik yang berkaitan penetapan Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka Oleh KPK tanpa bukti permulaan yang cukup sesaat setelah Presiden mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Opini Publik atas Kasus Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Novel Bawesdan yang ditetapkan sebagi tersangka Oleh Penydik Polri dikatakan sebagai tindakan kriminalisasi, karena dianggap bernuansa politik yang berkaitan penetapan Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka Oleh KPK tanpa bukti permulaan yang cukup sesaat setelah Presiden mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Setelah melakukan penetapan tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup menjadi bukti yang cukup terhadap Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Novel Bawesdan, penyidik mencari barang bukti dan alat bukti yang berhubungan dengan kasus ini. Selanjutnya penyidik mengirim SPDP ke Kejaksana, proses penyidikan berjalan dan pihak Kejaksaan dalam hal ini JPU menyatakan perkara ini sudah lengkap (P21) dan dilanjutkan ke-Tahap 2 untuk diproses di Pengadilan.
Sidang pengadilan belum dimulai presiden memanggil Jaksa Agung dan Kapolri memerintahkan agar kasus ini diselesaikan segera. Perintah ini dianggap oleh Jaksa Agung untuk mengambil tindakan hukum berupa Deponeering yang menjadikan polemik hukum dan perdebatan para Ahli Hukum.
Deponeering merupakan “kewenangan khusus” bagi Jaksa Agung yang diberikan dalam Pasal 35 huruf-c UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), bahwa: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyenyampingkan perkara demi kepentingan umum”.
Ukuran suatu perkara dideponir oleh Jaksa Agung sesuai Penjelasan Pasal 35 huruf-c UU Kejaksaan, adalah “untuk kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”. Artinya, mengenyampingkan perkara merupakan pelaksanaan dari “asas oportunitas’, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memerhatikan “saran dan pendapat” dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan perkara tersebut.
Badan-badan kekuasaan atau lembaga negara yang terkait dengan perkara itu, antara lain Polri selaku penyidik, Mahkamah Agung, dan DPR selaku representase rakyat.
Timbul pertanyaan apakah “makna kepentingan umum dan/atau kepentingan masyarakat luas” sudah terpenuhi?
Apakah jika perkara ini diproses di pengadilan akan membuat kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas “akan terganggu” dan penyeleggaraan negara ikut terganggu?
Di sini terjadi debatebel apakah benar jika diproses akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat kalau dilanjutkan pemeriksaannya di pengadilan. Apalagi secara hukum jika Deponeering dilakukan telah mengabaikan asas “persamaan di depan hukum” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Jadi secara limitatif “tidak ada kecualinya” bila ditafsirkan secara gramatikal bahwa siapapun yang melanggar hukum harus diproses, apalagi sudah melalui penyelidikan dan penyidikan dan sudah dinyatakan lengkap oleh JPU, sehingga seharusnya dilanjutkan pemeriksaannya di pengadilan.
Biar pengadilan yang menilai dan memutuskan apakah dakwaan JPU terbukti atau tidak terbukti. Agar perdebatan tentang kriminalisasi atau tidak kriminalisasi oleh Penyidik Polri terhadap Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Novel Bawesdan terselesaiakn melahui putusan pengadilan menyatakan terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Jika tidak terbukti tentu hakim akan memutuskan bebas berarti telah terjadi kriminalisasi, begitu juga sebalik jika terbukti berarti tidak ada kriminalisasi dan penyidik Polri telah melaksanakan tugas penyidikan secara profresioanl. Di samping itu juga secara tetopretis memenuhi “asas kepastian hukum” sebagai salah satu tujuan hukum, selain “keadilan dan kemanfaatan masyarakat”. Tujuan hukum melalui “kepastian hukum” pada hakikatnya untuk menguji apakah penyidik polri telah dijalankan penyidik secara benar, untuk itu idealnya diserahkan ke pengadilan untuk menilai apakah terdakwa bersalah atau tidak.
Men-deeponir perkara tersangka Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Novel Bawesdan secara empiris (realitas) sebetulnya belum sepenuhnya menyentuh pada makna “kepentingan umum dan/atau merugikan kepentingan masyarakat”. Apalagi kasus itu terkait dengan individu seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Apalagi Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto bukan siapa-siapa lagi, lain halnya kalau posisinya masih pimpinan KPK.
Jika terjadi Deponeering tentu Penyidik Polri tidak bisa lagi disalahkan, apalagi mengaitkannya bahwa penyidik melakukan “kriminalisasi” terhadap Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan Novel Bawesdan. Sebab kriminalisasi itu dianggap telah terjadi, jika seseorang diproses hukum “tanpa ada fakta kasus, tidak cukup alat bukti penetapan tersangka, dan BAP tidak diterima JPU”.
Apalagi tersangka Novel Baswedan sudah melakukan “praperadilan” atas penetapannya sebagai tersangka, tetapi pengadilan menolaknya dan menyatakan bahwa penetapan tersangka Novel Baswedan telah menenuhi ketentuan KUHAP.
Oleh:
Dr. Sahuri Lasmadi, S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Univesitas Jambi)