Saya mengenal Anton Charliyan
sejak pertengahan tahun 2004. Saat itu masih berpangkat AKBP, dinas di
Polda Metro Jaya. Dikenalkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat waktu itu,
Prof Dr Subur Budhisantoso yang sedang bekerja keras membangun Partai
Demokrat dari nol.
Kemudian kami berpisah untuk waktu yang lama dan bertemu kembali pada akhir 2014, juga bersama Prof Dr Subur Budhisantoso.
Pertemuan
kedua tersebut menjadi intens dan bermakna ketika tiba tiba Komjen Budi
Gunawan (calon Kapolri saat itu) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK
tanggal 13 Januari 2015. Setahun lebih saya mendampingi Irjen Pol Anton
Chaliyan dalam suka dan duka, dan menjadikan saya akrab memanggilnya
Abang.
Dalam suasana kegaduhan KPK vs Polri di bulan Januari 2015,
suatu hari saya ditelepon Bang Anton Charliyan supaya merapat ke
kantornya. Saat itu beliau mejabat sebagai Kepala Biro di Lemdikpol
berpangkat Brigadir Jenderal.
Anton berbicara serius kepada saya tentang harga diri dan masa depan Polri “Saya
tidak membicarakan Budi Gunawan. Tetapi saya sedang membicarakan
Institusi Polri yang harus dijaga kehormatanya dan masa depanya. Komjen
Budi Gunawan sudah diusulkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kapolri
dan telah disetujui oleh DPR menjadi Kapolri, tetapi dengan sangat
arogan tanpa alat bukti, KPK menetapkan beliau menjadi tersangka. Ini
penghinaan, pelecehan dan kedzaliman mendasar terhadap Institusi Polri.
Kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi, Polri harus
melakukan“perlawanan” hukum dan opini.” Demikian kalimat tegas namun tetap tenang dan terukur dari Bang Anton Charliyan yang masih saya rekam.
Melawan KPK? Apa nggak salah?
Semua
tahu, soal hukum, KPK adalah lembaga super body dengan wewenang super
tak tertandingi. Siapapun dengan sangat enteng bisa digeledah, dicekal
dan dijadikan tersangka, kecuali penghuni Istana?
Soal opini, KPK
adalah kebenaran. KPK tidak pernah salah, KPK berisi orang-orang suci.
KPK lembaga dewa yang dihuni para dewa. Demikianlah pemujaan media massa
terhadap KPK dan para penghuninya.
Selama KPK berdiri, tidak
seorang atau satu lembaga pun sanggup dan berani berhadapan dengan KPK.
Melawan KPK berarti “kehancuran yang sempurna.” Sudah terlalu banyak
buktinya.
Orang atau lembaga yang diposisikan sebagai lawan KPK
akan dihancurkan secara hukum dan opini. Demikian yang terjadi terhadap
Budi Gunawan dan Polri saat itu.
Budi Gunawan dan Polri dicemooh,
dilecehkan oleh hampir seluruh media meanstream yang selalu memanjakan
KPK dan kroninya, termasuk Tim 9 yang beropini liar. Para tokoh itu tak
henti hentinya melancarkan serangan demi serangan yang mematikan.
Menghadapi semua fitnah tersebut, Budi Gunawan bersikap tenang dan
“diam”. Polri dibully, Polri “divonis bersalah” oleh opini.
Dalam
situasi sulit, tegang dan dengan segala keterbatasan, Brigjen Pol Anton
Charliyan mewakafkan dirinya demi kehormatan dan masa depan Institusi
Polri. Anton Charliyan siap menelan risiko terpahit. Anton siap melepas
seragam dinasnya demi kehormatan lembaga Polri, sekaligus menumpas
kedzaliman.
“Di mata saya, yang tersisa saat ini hanya harga
diri Polri. Saya siap melepas baju seragam Polri dan bintang di pundak
saya demi kehormatan Polri. KPK jelas-jelas melakukan kedzaliman dan
harus dilawan,” kata Anton kepada saya, saat itu.
Anton
Charliyan bekerja cerdas, segera berkonsultasi dengan beberapa pakar
hukum yang sangat kredibel. Pembelaan jalur hukum disiapkan secara
profesional. Jalur hukum adalah jalur paling tepat. Namun jalur hukum
harus didukung oleh dukungan opini.
Mengapa Opini penting? Anton
Charliyan sadar, sudah banyak peristiwa hukum yang digiring dan
dikondisikan oleh opini. Lebih dari itu, yang sangat memprihatinkan,
sangat banyak keputusan hukum yang didasari oleh opini. Bahkan opini
dengan sangat sadis dan kejam bisa menghukum seseorang, sebelum orang
tersebut dikenai status hukum oleh lembaga berwenang.
Saya diminta
untuk membantu membangun opini, baik di media meanstream maupun di
media sosial. Perang opini terjadi seperti perang antara Davidmelawan
Goliat. David adalah seorang prajurit kecil, sementara Goliat adalah
raksasa. Hampir seluruh media meanstream memihak KPK yang raksasa. Dan
hanya sebagian kecil yang netral. Semangat David digenggam erat oleh
Anton Charliyan.
Kami akhirnya membentuk tim media yang terdiri
dari beberapa orang. Mengandalkan media meanstream tentu sangat sulit
karena sebagian besar mendukung KPK, walaupun masih ada beberapa yang
objektif dalam pemberitaan. Situasi ini membuat kami menjadi kreatif
untuk menemukan alternatif dalam membangun opini. Akhirnya kami fokus di
media online yang kami create sendiri dan media sosial baik facebook,
twitter, blog, citizen journalism.
Gegap gempita perang opini
berlangsun. Beruntung, kali ini Polri selamat, dan untuk pertama kalinya
KPK kalah opini, juga kalah di praperadilan. Kami bekerja siang malam
dengan penuh semangat. Alhamdulillah, tim opini kami bekerja dengan baik
di bawah komando Brigjend Pol DR Drs H Anton Charliyan MPKN.
Mungkin
karena kelihaianya dalam mempimpin tim opini, akhirnya Anton Charliyan
ditunjuk menjadi Kadiv Humas Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal
pada 17 Maret 2015. Selama menjadi Kadiv Humas, wajah Anton Charliyan
menghiasi layar-layar kaca dan halaman-halaman surat kabar. Media online
penuh gambar dan statemen beliau. Konsolidasi internal Humas juga
berjalan sangat baik.
Humas Polri terus bekerja membangun opini
Polri, khususnya bebasis internet, hingga menelorkan media online
tribratanews.com yang eksis mulai dari Mabes Polri, Polda hingga Polres
di seluruh Indonesia. Beberapa media online pendukung Polri juga
dibangun dan cukup eksis hingga saat ini. Sosialisasi kesadaran akan
pentingnya opini terus digenjot ke jajaran Polri, bahwa setiap anggota
Polri adalah humas Polri.
Selain itu, Anton Charliyan juga
membangun war room, intelijen media, media monitoring dan media analisis
berbasis IT canggih yang mampu diandalkan. Tim media sosial terus
dikonsolidasikan dan terus ditingkatkan kemampuan SDM-nya, para pakar,
tokoh agama, tokoh masyarakat, ormas, LSM, organisasi mahasiswa, lembaga
pemerintah secara kontinyu diundang untuk memberikan masukan dan
bersinergi dalam membangun opini positif lembaga Polri.
Insya
Allah, pelan-pelan Polri akan menunjukan kinerja terbaiknya dan
masyarakat akan berpendapat positif. Di bawah komando Anton Charliyan,
opini Polri beranjak positif . Diam-diam, diantara orang-orang yang
mengenalnya, Anton Charliyan pun mendapat julukan Jenderal Perang Opini.
Kemudian
pada bulan Mei 2016 Irjend Pol DR Drs H Anton Charliyan MPKN diangkat
menjadi Kapolda Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Pak Kapolda cukup
aktif, eksis dan narsis di Akun FB: Anton Charliyan, akun twitter Anton
Charliyan (@anton_charliyan) dan instagram Anton Charliyan.
Mau kenalan lebih dalam? Silahkan kirim permintaan pertemanan dan follow.
Dan,
yang jarang diketahui publik adalah sisi lain Anton Charliyan. Dia
adalah seorang humoris tulen. Seandainya ada lomba stan dup Comedy di
Polri, saya yakin betul Anton Charliyan akan keluar sebagai juara.
Anton
juga sosok religius, humanis dan pecinta budaya nusantara serta aktivis
berbagai organisasi. Untuk tetap menghidupkan intelektualitas, Anton
menulis buku antara lain Master Leadership 1 dan II, Setetes Embun,
Jejak Langkah di Wajo.
Anton Charliyan dididik dan dibesarkan
Polri di dunia reserse (reskrim). Salah satu sisi kecerdasan reserse
Anton Charliyan adalah ditunjuk menjadi Ketua Satgas Penyelidikan dan
Penyidikan kasus terbunuhnya aktivis Munir dan Pembunuhan Marsinah.
Anton Charliyan berhasil melaksanakan tugas tersebut dengan sangat baik.
Anton
Charliyan memperoleh gelar Sarjana dari PTIK, kemudian melanjutkan
Master di Universitas Indonesia dan Doktor di Universitas Negeri
Jakarta. Anton juga lulusan Lemhanas utusan dari Polri. Satu hal yang
kini terus digelorakan, di manapun dan kapan pun, Anton Charliyan selalu
menggelorakan sapa akrabnya: Salam tribrata!!!
(LAershi)




