![]() |
Oleh: Prof. Dr. La Ode Husen SH, MH |
Iklim penegakan hukum di Indonesia belum menciptakan suasana
yang kondusif dan cenderung terjebak pada keadilan prosedural yang
mengabaikan keadilan subtantif. Di sisi lain, penegakan hukum harus
mencapai tujuannya, yakni kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan
keadilan.
Tidak terciptanya iklim penegakan hukum yang baik, disebabkan
berbagai fenomena hukum yang terjadi misalnya, penghentian penyidikan
dan penghentian penuntutan perkara sampai pada penutupan perkara atau
mengenyampingkan perkara.
Sementara itu, setiap orang dalam suatu negara hukum mempunyai kedudukan
yang sama dan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
kesewenang-wenangan penegak hukum, dan setiap aparatur penegak hukum
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melaksanakan fungsinya harus
berdasarkan atas hukum.
Demikian pula halnya dalam materi hukum berdasar asas legalitas, harus
dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Bahwa aparatur penegak hukum
memberikan perlindungan kepada setiap orang yang dinyatakan sebagai
tersangka dan memastikan bahwa tindakan aparatur penegak hukum dalam hal
menetapkan seorang tersangka tidak dilakukan secara sewenang-wenang,
hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaina diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Kasus Abraham Samad yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan
pembuatan dokumen palsu untuk pembuatan paspor tahun 2007. Sementara
Bambang Widjojanto menjadi tersangka terkait dugaan meminta saksi untuk
memberi keterangan palsu dalam sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi
(MK) tahun 2010.
Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya melakukan penutupan perkara
(deponering) atau mengesampingkan perkara mantan Komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Penutupan perkara AS dan BW, masih menjadi menimbulkan pro dan kontra,
oleh karena itu penulis berpandangan dalam analisis kasus ini sebaiknya
harus dikembalikan pada asas-asas hukum seperti asas legalitas, aquality
before the law, dan asas yang digunakan dalam mengenyampingkan perkara
yakni asas oportunitas, jangan sampai praktik penegakan hukum di
Indonesia meruntuhkan wibawa hukum itu sendiri.
Sementara itu, penyampingan perkara demi kepentingan umum jika dikaitkan
dengan asas equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Sejatinya, kepentingan negara dan kepentingan mayarakat yang harus
dilindungi dalam pelaksanaan asas opportunitas yaitu: apabila tindak
pidana itu menimbulkan kerugian bagi negara dan tidak terhadap
kepentingan masyarakat, sedangkan kerugian dari akibat tersebut
dirasakan tidak mempengaruhi jalannya pemerintahannya, maka dapat
perkara itu dikesampingkan, apabila tindak pidana tersebut tidak
merugikan bagi kepentingan penyelenggara negara dan berakibat
terganggunya kehidupan masyarakat atau timbulnya ketidakadilan dalam
masyarakat, maka perkara tersebut tidak seharusnya dikesampingkan.
Secara yuridis kewenangan untuk menutup atau mengenyampingkan suatu
perkara (deponering) ada di tangan Jaksa Penuntut Umum, namun harus
memenuhi syarat objektif, berdasarkan Undang-Undang Nomor Nomor 14
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan secara tegas dinyatakan bahwa kepentingan
umum itu adalah kepentingan bangsa dan/atau kepentingan masyarakat luas
dan mengenyampingkan perkara menjadi otoritas mutlak Kejaksaan Agung.
Asas oportunitas mempunyai pengertian yaitu asas yang memberikan
wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap
seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana dengan jalan
mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya untuk
kepentingan umum.
Sebenarnya kedua asas tersebut bertolak belakang dengan asas oportunitas
yang berarti sekalipun seorang tersangka sudah jelas cukup bersalah
menurut pemeriksaan penyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat
dijatuhi hukuman, Namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke
sidang pengadilan oleh penuntut umum.
Proses perkara itu “dideponer” oleh pihak kejaksaan atas dasar
pertimbangan “demi kepentingan umum”. Kejaksaan berpendapat, lebih
bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di
muka sidang pengadilan.
Persoalannya adalah apakah penutupan perkara AS dab BW telah memenuhi
syarat obyektif yang disyaratkan oleh undang-undang. Apakah jika kasus
AS dan BW dilanjutkan proses hukumnya bertentangan dengan kepentingan
umum atau, mengganggu kepentingan umum ataukah kepentingan negara yang
terganggu.
Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, bukanlah hal baru aparatur
penegakan hukum yang tersangkut kasus hukum, misalnya saja kasus
Antasari yang proses hukumnya berlanjut sampai di pengadilan, dan
Antasari secara jantan mengikuti proses hukumnnya untuk menemukan
keadilan yang subtantif.
Hal ini berbeda dengan AS dan BW yang tidak mau melanjutkan proses hukum
sampai di pengadilan, justru menempuh jalan untuk menghentikan proses
hukum melalui pengenyampingan perkara, sama halnya dengan Kasus Novel
Baswedan yang perkaranya juga telah dikesampingkan oleh Jaksa Agung.
Deponering adalah mengenyampingkan perkara demi kepentingan bangsa dan
umum.
Kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada pasal 35 KUHAP yang berbunyi
kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau
kepentingan masyarakat luas.
Dengan demikian fenomena pengenyampingan perkara AS, BW dan NB, adalah
tidak sesuai dengan asas legalitas dan ada perbedaan perlakuan dengan
kasus Antasari. Hal ini menunjukkan ada standar ganda dalam penegakan
hukum. Standar ganda dalam penegakan hukum terhadap AS, BW dan NB
maksudnya bahwa menegakkan hukum dalam berbagai tindak pidana AS, BW
dan NB sepertinya tidak mau tahu dengan prinsip legalitas dan
oportunitas dengan memperhatikan syarat-syarat unuk menghentikan suatu
perkara, akan tetapi ketika mereka yang terlibat dalam tindak pidana,
justru tidak mau melanjutkan proses hukumnya, dan cenderung untuk
meminta penghentian penyidikan atau penuntutan. Hal ini bertentangan
dangn prinsip equality before the law.
Tidak ada alasan obyektif untuk menghentikan atau mengenyampingkan
perkara AS, BW dan NB, akan lebih baik jika dilanjutkan di pengadilan
untuk membuktikan dan menguji alat-alat bukti yang digunakan oleh
penyidik pada saat proses penyidikan dalam menetapkan sebagai tersangka,
sekaligus untuk mendapatkan kepastian hukum bersalah atau tidak.
Akan tetapi, karena perkaranya telah ditutup atau dikesampingkan oleh
Jaksa Agung, sehingga kasus tersebut tidak dapat dibuktikan bersalah
atau tidak. Secara teoritis ada perbedaan antara penghentian penuntutan
dengan mengenyampingkan perkara. Suatu perkara yang dikesampingkan oleh
Jaksa Agung jika perkara tersebut memang beralasan dan cukup bukti untuk
diajukan serta diperiksa di muka sidang pengadilan, dari fakta dan
bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman.
Akan tetapi, perkara yang cukup fakta dan bukti itu “sengaja
dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak
penuntut umum atas alasan ‘demi untuk kepentingan umum’.
Hal ini menunjukkan suatu perkara yang dikesampingkan tersebut pada
hakikatnya telah nyata terjadi tindak pidana yang kemudian
dikesampingkan. Dikesampingkan karena ada suatu keadaan yang obyektif
membahayakan negara atau mengganggu kepentingan negara jika kasusnya
dilanjutkan. Tentu berbeda dengan jika suatu perkara yang dihentikan
penuntutannya.
Suatu perkara yang dihentikan penuntutannya jika suatu perkara tersebut
karena tidak cukup bukti. Contohnya: tidak mencapai minimal dari alat
bukti yang diharuskan seperti disebut dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti
yang ada tidak sah menurut hukum, tidak terpenuhinya unsur delik dari
pasal yang didakwakan.
Terhadap kasus AS dan BW ataupun NB yang bukan lagi aparatur penegak
hukum, dan seharusnya tidak kebal hukum, sejatinya keduanya maju ke
pengadilan untuk membuktikan apakah bersalah atau tidak, apakah mereka
takut dihukum atau mereka takut dengan proses hukum di pengadilan yang
syarat dengan rekayasa kasus, wallahu alam, hanya mereka yang bisa
menjawab mengapa mereka tidak mau maju kepengadilan, yang justru memilih
untuk membangun komunikasi untuk mengenyampingkan perkaranya.
Justru publik menunggu dan mengharapkan agar kasus AS, BW, dan NB
dilanjutkan ke pengadilan untuk memperjelas mereka bersalah atau tidak
sekaligus mendapatkan kepastian hukum. Keadaan ini telah meruntuhkan
wibawa (gezag) penegak hukum yang lain dan cenderung telah menghilangkan
identitas negara hukum.(***)