Link Banner
Diberdayakan oleh Blogger.

POLDA JAMBI DUKUNG #TURNBACKHOAX

POLDA JAMBI DUKUNG #TURNBACKHOAX

Penjagaan Polda Jambi (0741) 534117

Penjagaan Polda Jambi (0741) 534117

CALL SABER PUNGLI 082112131323

CALL SABER PUNGLI 082112131323

#STOPNARKOBA

#STOPNARKOBA
Link Banner
Link Banner
Link Banner

Deponering Perkara AS dan BW, Fenomena Runtuhnya Wibawa Hukum

Penulis/Publish On Rabu, Maret 16, 2016

Oleh: Prof. Dr. La Ode Husen SH, MH
Iklim penegakan hukum di Indonesia belum menciptakan suasana yang kondusif dan cenderung terjebak pada keadilan prosedural yang mengabaikan keadilan subtantif. Di sisi lain, penegakan hukum harus mencapai tujuannya, yakni kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan.
Tidak terciptanya iklim penegakan hukum yang baik, disebabkan berbagai fenomena hukum yang terjadi misalnya, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan perkara sampai pada penutupan perkara atau mengenyampingkan perkara.
Sementara itu, setiap orang dalam suatu negara hukum mempunyai kedudukan yang sama dan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan kesewenang-wenangan penegak hukum, dan setiap aparatur penegak hukum penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melaksanakan fungsinya harus berdasarkan atas hukum.
Demikian pula halnya dalam materi hukum berdasar asas legalitas, harus dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Bahwa aparatur penegak hukum memberikan perlindungan kepada setiap orang yang dinyatakan sebagai tersangka dan memastikan bahwa tindakan aparatur penegak hukum dalam hal menetapkan seorang tersangka tidak dilakukan secara sewenang-wenang, hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaina diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Kasus Abraham Samad yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembuatan dokumen palsu untuk pembuatan paspor tahun 2007. Sementara Bambang Widjojanto menjadi tersangka terkait dugaan meminta saksi untuk memberi keterangan palsu dalam sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010.
Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya melakukan penutupan perkara (deponering) atau mengesampingkan perkara mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Penutupan perkara AS dan BW,  masih menjadi menimbulkan pro dan kontra, oleh karena itu penulis berpandangan dalam analisis kasus ini sebaiknya harus dikembalikan pada asas-asas hukum seperti asas legalitas, aquality before the law, dan asas yang digunakan dalam mengenyampingkan perkara yakni asas oportunitas, jangan sampai praktik penegakan hukum di Indonesia meruntuhkan wibawa hukum itu sendiri.
Sementara itu, penyampingan perkara demi kepentingan umum jika dikaitkan dengan asas equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 
Sejatinya, kepentingan negara dan kepentingan mayarakat yang harus dilindungi dalam pelaksanaan asas opportunitas yaitu: apabila tindak pidana itu menimbulkan kerugian bagi negara dan tidak terhadap kepentingan masyarakat, sedangkan kerugian dari akibat tersebut dirasakan tidak mempengaruhi jalannya pemerintahannya, maka dapat perkara itu dikesampingkan, apabila tindak pidana tersebut tidak merugikan bagi kepentingan penyelenggara negara dan berakibat terganggunya kehidupan masyarakat atau timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat, maka perkara tersebut tidak seharusnya dikesampingkan.
Secara yuridis kewenangan untuk menutup atau mengenyampingkan suatu perkara (deponering)  ada di tangan Jaksa Penuntut Umum, namun harus memenuhi syarat objektif, berdasarkan  Undang-Undang Nomor Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan secara tegas dinyatakan bahwa kepentingan umum itu adalah kepentingan bangsa dan/atau kepentingan masyarakat luas dan mengenyampingkan perkara menjadi otoritas mutlak Kejaksaan Agung.
Asas oportunitas mempunyai pengertian yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana dengan jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya untuk kepentingan umum. 
Sebenarnya kedua asas tersebut bertolak belakang dengan asas oportunitas yang berarti sekalipun seorang tersangka sudah jelas cukup bersalah menurut pemeriksaan penyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat dijatuhi hukuman, Namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum.
Proses perkara itu “dideponer” oleh pihak kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi kepentingan umum”. Kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di muka sidang pengadilan.
Persoalannya adalah apakah penutupan perkara AS dab BW telah memenuhi syarat obyektif  yang disyaratkan oleh undang-undang. Apakah jika kasus AS dan BW dilanjutkan proses hukumnya bertentangan dengan kepentingan umum atau, mengganggu kepentingan umum ataukah kepentingan negara yang terganggu. 
Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, bukanlah hal baru aparatur penegakan hukum yang  tersangkut kasus hukum, misalnya saja kasus Antasari yang proses hukumnya berlanjut sampai di pengadilan, dan Antasari secara jantan mengikuti proses hukumnnya untuk menemukan keadilan yang subtantif.
Hal ini berbeda dengan AS dan BW yang tidak mau melanjutkan proses hukum sampai di pengadilan, justru menempuh jalan untuk menghentikan proses hukum melalui pengenyampingan perkara, sama halnya dengan Kasus Novel Baswedan yang perkaranya juga telah dikesampingkan oleh Jaksa Agung. Deponering adalah mengenyampingkan perkara demi kepentingan bangsa dan  umum.
Kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada pasal 35 KUHAP yang berbunyi  kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Dengan demikian fenomena pengenyampingan perkara AS, BW dan NB,  adalah  tidak sesuai dengan asas legalitas dan ada perbedaan perlakuan dengan kasus Antasari. Hal ini menunjukkan ada standar ganda dalam penegakan hukum. Standar ganda dalam penegakan hukum terhadap AS, BW dan NB maksudnya bahwa menegakkan hukum dalam berbagai tindak pidana  AS, BW dan NB sepertinya tidak mau tahu dengan prinsip legalitas dan oportunitas dengan memperhatikan syarat-syarat unuk menghentikan suatu perkara, akan tetapi ketika mereka yang terlibat dalam tindak pidana, justru tidak mau melanjutkan proses hukumnya, dan cenderung untuk meminta penghentian penyidikan atau penuntutan. Hal ini bertentangan dangn prinsip equality before the law. 
Tidak ada alasan obyektif untuk menghentikan atau mengenyampingkan perkara AS, BW dan NB, akan lebih baik jika dilanjutkan di pengadilan untuk membuktikan dan menguji alat-alat bukti yang digunakan oleh penyidik pada saat proses penyidikan dalam menetapkan sebagai tersangka, sekaligus untuk mendapatkan kepastian hukum bersalah atau tidak.
Akan tetapi, karena perkaranya telah ditutup atau dikesampingkan oleh Jaksa Agung, sehingga kasus tersebut tidak dapat dibuktikan bersalah atau tidak. Secara teoritis ada perbedaan antara penghentian penuntutan dengan mengenyampingkan perkara. Suatu perkara yang dikesampingkan oleh Jaksa Agung jika perkara tersebut memang beralasan dan cukup bukti untuk diajukan serta diperiksa di muka sidang pengadilan, dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman.
Akan tetapi, perkara yang cukup fakta dan bukti itu “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan ‘demi untuk kepentingan umum’. 
Hal ini menunjukkan suatu perkara yang dikesampingkan tersebut pada hakikatnya telah nyata terjadi tindak pidana yang kemudian dikesampingkan. Dikesampingkan karena ada suatu keadaan yang obyektif membahayakan negara atau mengganggu kepentingan negara jika kasusnya dilanjutkan. Tentu berbeda dengan jika suatu perkara yang dihentikan penuntutannya.
Suatu perkara yang dihentikan penuntutannya jika suatu perkara tersebut karena tidak cukup bukti. Contohnya: tidak mencapai minimal dari alat bukti yang diharuskan seperti disebut dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti yang ada tidak sah menurut hukum, tidak terpenuhinya unsur delik dari pasal yang didakwakan. 
Terhadap kasus AS dan BW ataupun NB yang bukan lagi aparatur penegak hukum, dan seharusnya tidak kebal hukum, sejatinya keduanya maju ke pengadilan untuk membuktikan apakah bersalah atau tidak, apakah mereka takut dihukum atau mereka takut dengan proses hukum di pengadilan yang syarat dengan rekayasa kasus, wallahu alam, hanya mereka yang bisa menjawab mengapa mereka tidak mau maju kepengadilan, yang justru memilih untuk membangun komunikasi untuk mengenyampingkan perkaranya.
Justru publik menunggu dan mengharapkan agar kasus AS, BW, dan NB dilanjutkan ke pengadilan untuk memperjelas mereka bersalah atau tidak sekaligus mendapatkan kepastian hukum. Keadaan ini telah meruntuhkan wibawa (gezag) penegak hukum yang lain dan cenderung telah menghilangkan identitas negara hukum.(***)

back to top