Link Banner
Diberdayakan oleh Blogger.

POLDA JAMBI DUKUNG #TURNBACKHOAX

POLDA JAMBI DUKUNG #TURNBACKHOAX

Penjagaan Polda Jambi (0741) 534117

Penjagaan Polda Jambi (0741) 534117

CALL SABER PUNGLI 082112131323

CALL SABER PUNGLI 082112131323

#STOPNARKOBA

#STOPNARKOBA
Link Banner
Link Banner
Link Banner

IMPLEMENTASI ASAS LEGALITAS, ASAS OPORTUNITAS, DAN ASAS PLICHMATIGHEID OLEH PENYIDIK POLRI GUNA MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM DALAM PENANGANAN PERKARA PIDANA

Penulis/Publish On Senin, Maret 07, 2016

AKBP DEDI KUSUMA SIREGAR, SIK, MSi
I.     PENDAHULUAN
        I.1      Latar Belakang
                        Kepolisian Daerah Jambi sebagaimana institusi kepolisian lainnya di wilayah negara RI mengemban fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[1].Penegakan hukum merupakan rangkaian kegiatan petugas Polri dalam menegakkan peraturan hukum yang telah diundangkan khususnya pada aspek hukum pidana.
                        Penegakan hukum pidana dilakukan melalui mekanisme penegakan hukum secara yusitisil dan non-yustisiil.Penanganan secara yustisiil yakni dengan mengajukan perkaranya ke pengadilan baik melalui Jaksa Penuntut Umum dalam pemeriksaan singkat dan biasa maupun atas kuasa Jaksa Penuntut Umum dalam pemeriksaan cepat.Sedangkan secara non yustisiil yakni dengan menghentikan pelanggaran dan memberikan teguran serta pembinaan dan tidak mengajukan perkaranya ke persidangan.
                        Kaitan penegakan hukum dengan kepastian hukum adalah bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya merupakan tujuan utama dari hukum.Hukum dapat dijalankan dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun[2].Penegakan hukum harus memberikan kepastian, manfaat, dan keadilan. Satu komponen saja tidak terakomodir maka tujuan hukum itu sendiri tidak akan tercapai.
        I.2      Permasalahan                                   
                        Penegakan hukum tidak semuanya dapat dilakukan secara yustisiil mengingat beberapa kendala yang dihadapi baik dalam aspek pembuktian, urgensinya, maupun dampak sosial yang dihadapi sebagai imbas dari penegakan hukum itu sendiri.Penegakan hukum tidak boleh terlepas dari kerangka pemeliharaan Kamtibmas.Penegakan hukum tidak tepat apabila nantinya menimbulkan reaksi yang lebih besar dan berakibat terganggunya Kamtibmas dalam skup yang lebih luas.Penegakan hukum harus memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.Dalam penegakan hukum Penyidik diberikan kewenangan sebagaimana asas legalitas, asas oportunitas, dan asas plichmatigheid.Akan tetapi penerapannya haruslah benar dan tepat, tidak boleh hanya mengedepankan anasir legalistik semata tanpa memperhatikan anasir moralistik.Berdasarkan permasalahan di atas, Penulis mengidentifikasi persoalan sebagai berikut:
a.       Apakah yang dimaksud dengan asas legalitas dan bagaimana implementasinya?
b.      Apakah yang dimaksud dengan asas oportunitas dan bagaimana implementasinya?
c.       Apakah yang dimaksud dengan asas plichmatigheid dan bagaimana implementasinya?
           
II.    PEMBAHASAN
        II.1     Asas legalitas
                        Kewenangan secara legalitas merupakan kewenangan yang dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku.Legalitas artinya sesuai dengan hukum.Sesuai dengan arti tersebut sebenarnya terkandung dua maksud yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hal ini terkait dengan usaha manusia dalam mendapatkan kepastian dan rasa kepastian sebagai salah satu kebutuhan pokoknya, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam masyarakat (Utomo, 2005, hlm. 63). Bagaimana kalau azas ini diterapkan secara saklek?Banyak penyelesaian kasus melalui persidangan yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak adil.Undang-undang sendiri memberi kelonggaran untuk menyimpang, baik untuk kepentingan orang yang bersangkutan maupun untuk kepentingan umum.Sebaliknya jika tidak didasarkan kepada undang-undang maka dikatakan bahwa tindakan polisi itu melawan hukum (onrechtmatig). Akan tetapi dalam Arrest Hooge Raad tanggal 25 Januari 1892 dan 11 Maret 1914 yang menyatakan bahwa: “Rechtmatigheid daripada tindakan polisi tidak selalu membutuhkan undang-undang yang syah, asal tindakan itu tidak melanggar sesuatu undang-undang yang syah, dan bahwa polisi bertindak untuk memelihara ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum dan untuk melindungi hak-hak manusia” (Kelana, 1994, hlm. 98).
                        Asas legalitas ini menjadi dasar legitimasi tindakan kepolisian dan memberikan jaminan perlindungan hak-hak rakyat, karena tindakan kepolisian yang tidak berdasar pada perundang-undangan menjadi tidak sah dan merupakan tindakan melawan hukum, sehingga rakyat memiliki hak gugat.Tindakan hukum kepolisian tersebut baik dalam rangka penegakan hukum maupun dalam rangka pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Penerapan asas legalitas ini akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan berlakunya kesamaan perlakuan, serta untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintah, sebagaimana dikatakan oleh  H. D. Stout, bahwa “het legaliteitsbeginsel beoogt de rechtspositie van de burger jegens de overhead de waarborgen” (Sadjijono, 2006, hlm. 17-18).Asas legalitas memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penindakan secara yustisiil yakni dengan mengajukan perkaranya ke pengadilan melalui Jaksa Penuntut Umum.
        II.2     Asas Oportunitas
                  Kewenangan secara oportunitas merupakan kebalikan dari azas legalitas yang maksudnya adalah undang-undang mengatur tapi tidak dilaksanakan.Sebagai contoh misalnya aturan menghendaki bahwa polisi wajib melaksanakan penyidikan sejak tindak pidana itu terjadi sampai dengan penyerahan berkas perkara beserta barang buktinya ke kejaksaan. Di sisi lain dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 (KUHP) pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa penyidik mempunyai tugas mengadakan penghentian penyidikan (Utomo, 2005, hlm. 64). Penyidik dapat menghentikan penyidikan dengan kriteria yakni bukan merupakan tindak pidana, tidak ditemukan cukup bukti, dan demi hukum.           Jadi penerapan asas oportunitas ini adalah dalam kerangka penyidikan yang dilakukan yang pada akhirnya dapat dihentikan mengacu kepada kriteria yang telah ditetapkan.
                  Kewenangan ini diberikan kepada penyidik Polri untuk menghentikan penyidikan kasus dengan memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan yakni perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana, tidak terdapat cukup bukti, atau demi hukum.Penghentian penyidikan demi hukum dilakukan manakala tersangkanya telah meninggal dunia, kasus sudah daluarsa, ataupun nebis in idem (perkara tersebut telah diputus sebelumnya oleh majelis hakim).
        II.3     Asas Plichmatigheid
Kewenangan secara plichmatigheid merupakan kewenangan yang didasari atas pengambilan tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya demi kepentingan umum. Asas keharusan atau kewajiban ini didasarkan pada suatu syarat, antara lain: (1) tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan perundang-undangan, (2) tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan ketertiban, ketenteraman, dan keamanan umum, (3) tindakan yang dilakukan untuk melindungi hak-hak seseorang. Asas kewajiban ini dilakukan karena melekat dalam tugas dan wewenangnya, sehingga dalam penyelenggaraan tugas semata-mata untuk kepentingan umum (Sadjijono, 2008, hlm. 18).
Azas plichmatigheid ini memberikan kekuasaan kepada polisi untuk bertindak menurut inisiatifnya sendiri.Hal ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas polisi yang bersifat represif, non-yustisiil, dan preventif.Sedangkan sebagai penyidik sudah ditentukan oleh undang-undang yang dengan jelas telah mengaturnya, sehingga tindakan yang dilakukan oleh polisi tergantung pada reaksi masyarakat setempat (situasi dan kondisi). Untuk dapat menentukan batas-batas kewajiban sekaligus untuk membatasi tindakan-tindakan kepolisian masih dapat diadakan ukuran bahwa tindakan yang didasarkan atas azas plichmatigheid adalah: (1) azas keperluan (noodzakelijk) artinya secara obyektif, menurut pendapat umum betul-betul perlu dan tindakan tidak boleh kurang tidak boleh lebih, (2) azas masalah sebagai patokan (zakelijk) artinya bahwa tindakan yang diambil dikaitkan dengan masalah yang ditangani, dan tidak berdasarkan pribadi, tidak terikat pada kepentingan perorangan, (3) azas tujuan sebagai ukuran (doelmatig) artinya bahwa tindakan yang sesuai atau yang bisa mencapai sasaran, (4) azas keseimbangan (evenreding) artinya bahwa tindakan yang dilakukan harus ada keseimbangan antara tindakan polisi dengan berat ringannya kesalahan (Utomo, 2005, hlm. 64-66).
Sepintas kewenangan plichmatigheid ini hampir sama dengan kewenangan oportunitas.Bedanya adalah bahwa kewenangan oportunitas hanya dimiliki oleh Penyidik yang penerapannya mengacu kepada hukum acara yang berlaku.Sedangkan kewenangan plichmatigheid dapat dilakukan oleh seluruh anggota Polri baik yang mengemban fungsi preemtif, preventif, maupun penegakan hukum.Sebagai contoh misalnya seorang anggota Polri yang mendapati seorang anak sedang mencuri mangga boleh memberikan peringatan dan pembinaan saja tanpa harus mengajukannya ke persidangan.Kewenangan ini selaras dengan kewenangan diskresi kepolisian yang diberikan kepada petugas Polri dalam mengambil suatu tindakan yang pada dasarnya bertentangan dengan hukum namun diperbolehkan dengan dalih untuk kepentingan umum. Sebagai mana rumusan pada pasal 18 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Persyaratannya diatur dalam ayat (2) yang berbunyi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
                        Diskresi berasal dari kata-kata bahasa Inggris “discretion” yang menurut kamus umum yang disusun John M Echols, dkk diartikan kebijaksanaan, keleluasaan.Menurut Alvina Treut Burrow, discretion adalah “ability to choose wisely or to judge for oneself” artinya kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.Sedangkan menurut kamus hukum yang disusun oleh JCT Simorangkir, dkk, diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.Dengan demikian apabila kata diskresi itu digabungkan dengan kata kepolisian, maka istilah menjadi diskresi kepolisian.Yang dapat diartikan suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaannya (power) untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Sedangkan menurut Thomas J Aaron dinyatakan bahwa “discretion is power authority conferred by law to action on the basic of judgement or conscience, and its use is more an idea of morals than law”. Yang dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinannya dan lebih menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum (Faal, 1991, hlm. 15).
                        Diskresi polisi didefinisikan sebagai kapasitas petugas kepolisian untuk memilih di antara sejumlah tindakan legal atau tidak legal, atau bahkan tidak melakukan tindakan sama sekali pada saat mereka menunaikan tugas (Davis, 1969 dalam Bailey, 2005, hlm. 245). Diskresi ini memungkinkan polisi menentukan tujuan (menjaga keamanan, mempertahankan keselamatan masyarakat, menegakkan hukum), taktik (memilih untuk menegakkan hukum lalu lintas dengan melakukan patroli atau berjaga di seputar rambu lalu lintas), dan hasil (memilih memberikan peringatan kepada pelanggar lalu lintas dan bukan menilangnya) yang sering dalam menunaikan tugasnya. Sementara itu polisi memiliki diskresi dalam berbagai insiden yang luas, mulai dari panggilan untuk menyelesaikan keributan sampai penanganan individu yang memiliki gangguan mental, semua literatur ilmuwan tentang diskresi berfokus pada penegakan hukum selektif, yakni faktor yang mempengaruhi keputusan polisi untuk menahan atau tidak menahan para pelanggar.
                        Diskresi bukan saja menjadi bagian, tetapi merupakan bagian penting dari pekerjaan polisi.Pertama, undang-undang biasanya harus ditulis dalam bahasa yang terlalu umum sehingga tidak dapat memberikan panduan penegakan hukum dalam keadaan dimana mungkin terjadi pelanggaran. Sebagai contoh, pengendara yang melanggar batas kecepatan karena harus segera membawa pasien yang terluka ke rumah sakit merupakan salah satu kasus yang tidak benar-benar diperhitungkan sebagai pelanggaran hukum dan kemungkinan besar tidak akan dikenai penegakan hukum. Kedua, banyak polisi yang melihat undang-undang kriminal sebagai sarana untuk melakukan keadilan dan mempertahankan tata tertib masyarakat, yang tidak mungkin terjadi dengan sendirinya.Dokumentasi penolakan banyak polisi untuk melakukan penahanan dalam kasus penyerangan dalam rumah tangga, yang korbannya menolak mengajukan gugatan terhadap penyerangnya, sebagian berdasarkan penilaian polisi bahwa tugas mereka adalah mengembalikan ketertiban dalam berbagai keributan dan penahanan merupakan sarana terakhir. Terakhir, ada masalah dalam alokasi sumber daya: bila seorang polisi lalu lintas menahan seseorang karena surat-suratnya tidak lengkap atau membawa orang yang mengalami gangguan mental ke rumah sakit, maka polisi itu tidak dapat (untuk beberapa waktu) melakukan tugas lain, yakni tugas yang berpotensi lebih kritis, misalnya menanggapi perampokan yang sedang berlangsung, menyelesaikan perselisihan keluarga, dan menghentikan lalu lintas pada saat terjadi kebakaran atau kecelakaan. Dalam hal ini, membiarkan diskresi polisi dalam mengalokasikan waktunya merupakan caraorganisasi kepolisian mengakui bahwa pelayanan kepolisian adalah sumber yang terbatas (Bayley, 2005, hlm. 246).    

III.  PENUTUP
           Kewenangan-kewenangan ini menjadi rujukan bagi personel Polri pada umumnya dan Penyidik pada khususnya dalam menangani laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya kejahatan dan pelanggaran ataupun yang diketemukan langsung dalam pelaksanaan tugas.Penanganan kejahatan dan pelanggaran ini haruslah mengakomodir tujuan hukum berupa kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.Salah satu elemen saja tidak terpenuhi maka tujuan hukum itu tidak tercapai.Terpenting dari semua itu bahwa penegakan hukum haruslah dilakukan dalam kerangka pemeliharaan Kamtibmas sebagaimana amanat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.


 Oleh : AKBP DEDI KUSUMA SIREGAR, SIK, MSi
editor (inddtt)



[1] Fungsi kepolisian sebagaimana tercantum pada pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri
[2] Pendapat para ahli yang diakses dari http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum yang diakses pada 2 September 2015 pukul 10.44 WIB

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »