![]() |
AKBP DEDI KUSUMA SIREGAR, SIK, MSi |
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kepolisian Daerah Jambi sebagaimana institusi
kepolisian lainnya di wilayah negara RI mengemban fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[1].Penegakan
hukum merupakan rangkaian kegiatan petugas Polri dalam menegakkan peraturan
hukum yang telah diundangkan khususnya pada aspek hukum pidana.
Penegakan hukum pidana dilakukan melalui
mekanisme penegakan hukum secara yusitisil dan non-yustisiil.Penanganan secara
yustisiil yakni dengan mengajukan perkaranya ke pengadilan baik melalui Jaksa
Penuntut Umum dalam pemeriksaan singkat dan biasa maupun atas kuasa Jaksa
Penuntut Umum dalam pemeriksaan cepat.Sedangkan secara non yustisiil yakni
dengan menghentikan pelanggaran dan memberikan teguran serta pembinaan dan
tidak mengajukan perkaranya ke persidangan.
Kaitan penegakan hukum dengan kepastian hukum
adalah bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan cara yang baik atau tepat.
Kepastian pada intinya merupakan tujuan utama dari hukum.Hukum dapat dijalankan
dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun[2].Penegakan
hukum harus memberikan kepastian, manfaat, dan keadilan. Satu komponen saja
tidak terakomodir maka tujuan hukum itu sendiri tidak akan tercapai.
I.2 Permasalahan
Penegakan hukum tidak semuanya dapat
dilakukan secara yustisiil mengingat beberapa kendala yang dihadapi baik dalam
aspek pembuktian, urgensinya, maupun dampak sosial yang dihadapi sebagai imbas
dari penegakan hukum itu sendiri.Penegakan hukum tidak boleh terlepas dari
kerangka pemeliharaan Kamtibmas.Penegakan hukum tidak tepat apabila nantinya
menimbulkan reaksi yang lebih besar dan berakibat terganggunya Kamtibmas dalam
skup yang lebih luas.Penegakan hukum harus memberikan kepastian, kemanfaatan,
dan keadilan.Dalam penegakan hukum Penyidik diberikan kewenangan sebagaimana
asas legalitas, asas oportunitas, dan asas plichmatigheid.Akan
tetapi penerapannya haruslah benar dan tepat, tidak boleh hanya mengedepankan
anasir legalistik semata tanpa memperhatikan anasir moralistik.Berdasarkan
permasalahan di atas, Penulis mengidentifikasi persoalan sebagai berikut:
a.
Apakah yang dimaksud dengan
asas legalitas dan bagaimana implementasinya?
b.
Apakah yang dimaksud
dengan asas oportunitas dan bagaimana implementasinya?
c. Apakah
yang dimaksud dengan asas plichmatigheid
dan bagaimana implementasinya?
II. PEMBAHASAN
II.1 Asas legalitas
Kewenangan secara legalitas merupakan kewenangan yang dilakukan
berdasarkan hukum yang berlaku.Legalitas artinya sesuai dengan hukum.Sesuai
dengan arti tersebut sebenarnya terkandung dua maksud yaitu hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis. Hal ini terkait dengan usaha manusia dalam mendapatkan
kepastian dan rasa kepastian sebagai salah satu kebutuhan pokoknya, tentang apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam masyarakat (Utomo, 2005,
hlm. 63). Bagaimana kalau azas ini diterapkan secara saklek?Banyak penyelesaian
kasus melalui persidangan yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak
adil.Undang-undang sendiri memberi kelonggaran untuk menyimpang, baik untuk
kepentingan orang yang bersangkutan maupun untuk kepentingan umum.Sebaliknya
jika tidak didasarkan kepada undang-undang maka dikatakan bahwa tindakan polisi
itu melawan hukum (onrechtmatig).
Akan tetapi dalam Arrest Hooge Raad
tanggal 25 Januari 1892 dan 11 Maret 1914 yang menyatakan bahwa: “Rechtmatigheid daripada tindakan polisi
tidak selalu membutuhkan undang-undang yang syah, asal tindakan itu tidak
melanggar sesuatu undang-undang yang syah, dan bahwa polisi bertindak untuk
memelihara ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum dan untuk melindungi
hak-hak manusia” (Kelana, 1994, hlm. 98).
Asas
legalitas ini menjadi dasar legitimasi tindakan kepolisian dan memberikan
jaminan perlindungan hak-hak rakyat, karena tindakan kepolisian yang tidak
berdasar pada perundang-undangan menjadi tidak sah dan merupakan tindakan
melawan hukum, sehingga rakyat memiliki hak gugat.Tindakan hukum kepolisian
tersebut baik dalam rangka penegakan hukum maupun dalam rangka pemberian
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Penerapan asas
legalitas ini akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan berlakunya kesamaan
perlakuan, serta untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap
pemerintah, sebagaimana dikatakan oleh
H. D. Stout, bahwa “het
legaliteitsbeginsel beoogt de rechtspositie van de burger jegens de overhead de
waarborgen” (Sadjijono, 2006, hlm. 17-18).Asas legalitas memberikan
kewenangan kepada Polri untuk melakukan penindakan secara yustisiil yakni
dengan mengajukan perkaranya ke pengadilan melalui Jaksa Penuntut Umum.
II.2 Asas Oportunitas
Kewenangan
secara oportunitas merupakan kebalikan dari azas legalitas yang maksudnya
adalah undang-undang mengatur tapi tidak dilaksanakan.Sebagai contoh misalnya
aturan menghendaki bahwa polisi wajib melaksanakan penyidikan sejak tindak
pidana itu terjadi sampai dengan penyerahan berkas perkara beserta barang
buktinya ke kejaksaan. Di sisi lain dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 8
tahun 1981 (KUHP) pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa penyidik mempunyai tugas
mengadakan penghentian penyidikan (Utomo, 2005, hlm. 64). Penyidik dapat
menghentikan penyidikan dengan kriteria yakni bukan merupakan tindak pidana,
tidak ditemukan cukup bukti, dan demi hukum. Jadi
penerapan asas oportunitas ini adalah dalam kerangka penyidikan yang dilakukan
yang pada akhirnya dapat dihentikan mengacu kepada kriteria yang telah
ditetapkan.
Kewenangan ini diberikan
kepada penyidik Polri untuk menghentikan penyidikan kasus dengan memperhatikan
kriteria yang telah ditetapkan yakni perkara tersebut bukan merupakan tindak
pidana, tidak terdapat cukup bukti, atau demi hukum.Penghentian penyidikan demi
hukum dilakukan manakala tersangkanya telah meninggal dunia, kasus sudah
daluarsa, ataupun nebis in idem (perkara tersebut telah diputus sebelumnya oleh
majelis hakim).
II.3 Asas Plichmatigheid
Kewenangan
secara plichmatigheid merupakan
kewenangan yang didasari atas pengambilan tindakan-tindakan yang dianggap perlu
sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya demi kepentingan umum. Asas
keharusan atau kewajiban ini didasarkan pada suatu syarat, antara lain: (1)
tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan perundang-undangan, (2)
tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan ketertiban,
ketenteraman, dan keamanan umum, (3) tindakan yang dilakukan untuk melindungi
hak-hak seseorang. Asas kewajiban ini dilakukan karena melekat dalam tugas dan
wewenangnya, sehingga dalam penyelenggaraan tugas semata-mata untuk kepentingan
umum (Sadjijono, 2008, hlm. 18).
Azas plichmatigheid ini memberikan kekuasaan
kepada polisi untuk bertindak menurut inisiatifnya sendiri.Hal ini sangat
diperlukan dalam pelaksanaan tugas polisi yang bersifat represif,
non-yustisiil, dan preventif.Sedangkan sebagai penyidik sudah ditentukan oleh
undang-undang yang dengan jelas telah mengaturnya, sehingga tindakan yang
dilakukan oleh polisi tergantung pada reaksi masyarakat setempat (situasi dan
kondisi). Untuk dapat menentukan batas-batas kewajiban sekaligus untuk
membatasi tindakan-tindakan kepolisian masih dapat diadakan ukuran bahwa
tindakan yang didasarkan atas azas plichmatigheid
adalah: (1) azas keperluan (noodzakelijk)
artinya secara obyektif, menurut pendapat umum betul-betul perlu dan tindakan
tidak boleh kurang tidak boleh lebih, (2) azas masalah sebagai patokan (zakelijk) artinya bahwa tindakan yang
diambil dikaitkan dengan masalah yang ditangani, dan tidak berdasarkan pribadi,
tidak terikat pada kepentingan perorangan, (3) azas tujuan sebagai ukuran (doelmatig) artinya bahwa tindakan yang
sesuai atau yang bisa mencapai sasaran, (4) azas keseimbangan (evenreding) artinya bahwa tindakan yang
dilakukan harus ada keseimbangan antara tindakan polisi dengan berat ringannya
kesalahan (Utomo, 2005, hlm. 64-66).
Sepintas kewenangan plichmatigheid ini hampir sama dengan
kewenangan oportunitas.Bedanya adalah bahwa kewenangan oportunitas hanya
dimiliki oleh Penyidik yang penerapannya mengacu kepada hukum acara yang
berlaku.Sedangkan kewenangan plichmatigheid
dapat dilakukan oleh seluruh anggota Polri baik yang mengemban fungsi preemtif,
preventif, maupun penegakan hukum.Sebagai contoh misalnya seorang anggota Polri
yang mendapati seorang anak sedang mencuri mangga boleh memberikan peringatan
dan pembinaan saja tanpa harus mengajukannya ke persidangan.Kewenangan ini selaras
dengan kewenangan diskresi kepolisian yang diberikan kepada petugas Polri dalam mengambil suatu
tindakan yang pada dasarnya bertentangan dengan hukum namun diperbolehkan
dengan dalih untuk kepentingan umum. Sebagai mana rumusan pada pasal 18 ayat
(1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
berbunyi untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri. Persyaratannya diatur dalam ayat (2) yang berbunyi pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Diskresi berasal dari
kata-kata bahasa Inggris “discretion”
yang menurut kamus umum yang disusun John M Echols, dkk diartikan
kebijaksanaan, keleluasaan.Menurut Alvina Treut Burrow, discretion adalah “ability to
choose wisely or to judge for oneself” artinya kemampuan untuk memilih
secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri.Sedangkan menurut
kamus hukum yang disusun oleh JCT Simorangkir, dkk, diskresi diartikan sebagai
kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut
pendapatnya sendiri.Dengan demikian apabila kata diskresi itu digabungkan
dengan kata kepolisian, maka istilah menjadi diskresi kepolisian.Yang dapat
diartikan suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaannya (power) untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan
keyakinan dirinya. Sedangkan menurut Thomas J Aaron dinyatakan bahwa “discretion is power authority conferred by
law to action on the basic of judgement or conscience, and its use is more an
idea of morals than law”. Yang dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau
wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinannya
dan lebih menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum (Faal,
1991, hlm. 15).
Diskresi polisi
didefinisikan sebagai kapasitas petugas kepolisian untuk memilih di antara
sejumlah tindakan legal atau tidak legal, atau bahkan tidak melakukan tindakan
sama sekali pada saat mereka menunaikan tugas (Davis, 1969 dalam Bailey, 2005,
hlm. 245). Diskresi ini memungkinkan polisi menentukan tujuan (menjaga
keamanan, mempertahankan keselamatan masyarakat, menegakkan hukum), taktik (memilih
untuk menegakkan hukum lalu lintas dengan melakukan patroli atau berjaga di
seputar rambu lalu lintas), dan hasil (memilih memberikan peringatan kepada
pelanggar lalu lintas dan bukan menilangnya) yang sering dalam menunaikan
tugasnya. Sementara itu polisi memiliki diskresi dalam berbagai insiden yang
luas, mulai dari panggilan untuk menyelesaikan keributan sampai penanganan
individu yang memiliki gangguan mental, semua literatur ilmuwan tentang
diskresi berfokus pada penegakan hukum selektif, yakni faktor yang mempengaruhi
keputusan polisi untuk menahan atau tidak menahan para pelanggar.
Diskresi bukan saja
menjadi bagian, tetapi merupakan bagian penting dari pekerjaan polisi.Pertama,
undang-undang biasanya harus ditulis dalam bahasa yang terlalu umum sehingga
tidak dapat memberikan panduan penegakan hukum dalam keadaan dimana mungkin
terjadi pelanggaran. Sebagai contoh, pengendara yang melanggar batas kecepatan
karena harus segera membawa pasien yang terluka ke rumah sakit merupakan salah
satu kasus yang tidak benar-benar diperhitungkan sebagai pelanggaran hukum dan
kemungkinan besar tidak akan dikenai penegakan hukum. Kedua, banyak polisi yang
melihat undang-undang kriminal sebagai sarana untuk melakukan keadilan dan
mempertahankan tata tertib masyarakat, yang tidak mungkin terjadi dengan
sendirinya.Dokumentasi penolakan banyak polisi untuk melakukan penahanan dalam
kasus penyerangan dalam rumah tangga, yang korbannya menolak mengajukan gugatan
terhadap penyerangnya, sebagian berdasarkan penilaian polisi bahwa tugas mereka
adalah mengembalikan ketertiban dalam berbagai keributan dan penahanan
merupakan sarana terakhir. Terakhir, ada masalah dalam alokasi sumber daya:
bila seorang polisi lalu lintas menahan seseorang karena surat-suratnya tidak
lengkap atau membawa orang yang mengalami gangguan mental ke rumah sakit, maka
polisi itu tidak dapat (untuk beberapa waktu) melakukan tugas lain, yakni tugas
yang berpotensi lebih kritis, misalnya menanggapi perampokan yang sedang
berlangsung, menyelesaikan perselisihan keluarga, dan menghentikan lalu lintas
pada saat terjadi kebakaran atau kecelakaan. Dalam hal ini, membiarkan diskresi
polisi dalam mengalokasikan waktunya merupakan caraorganisasi kepolisian
mengakui bahwa pelayanan kepolisian adalah sumber yang terbatas (Bayley, 2005,
hlm. 246).
III. PENUTUP
Kewenangan-kewenangan
ini menjadi rujukan bagi personel Polri pada umumnya dan Penyidik pada
khususnya dalam menangani laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya
kejahatan dan pelanggaran ataupun yang diketemukan langsung dalam pelaksanaan
tugas.Penanganan kejahatan dan pelanggaran ini haruslah mengakomodir tujuan
hukum berupa kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.Salah satu elemen saja tidak
terpenuhi maka tujuan hukum itu tidak tercapai.Terpenting dari semua itu bahwa
penegakan hukum haruslah dilakukan dalam kerangka pemeliharaan Kamtibmas
sebagaimana amanat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Oleh : AKBP
DEDI KUSUMA SIREGAR, SIK, MSi
editor (inddtt)
[1] Fungsi kepolisian sebagaimana tercantum pada pasal 2 UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Polri
[2] Pendapat para ahli yang diakses dari http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-asas-kepastian-hukum
yang diakses pada 2 September 2015 pukul 10.44 WIB