Tribratanewsjambi.com –
Sedikitnya tiga anggota Kepolisian Republik Indonesia mengalami luka serius
saat bertugas melakukan pengamanan kompetisi sepakbola Torabika Soccer
Championship 2016.
Pada hari Jumat (24/),
berlangsung pertandingan antara Persija Jakarta dan Sriwijaya FC di Stadion
Utama Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta. Saat tuan rumah ketinggalan satu gol,
salah satu suporter Persija, yang dikenal sebagai The Jakmania, masuk lapangan.
Suasana SUGBK setelah itu mendadak rusuh.
Sejumlah massa, yang
disinyalir sebagai anggota The Jakmania, mengamuk. Pagar pembatas dirobohkan.
Anggota Polisi dianiaya. Salah satunya, Brigadir Hanafi, sampai kritis akibat
kekerasan benda tumpul.
Menanggapi hal itu, Fakhruddin Muchtar, Direktur Rephilosophy Public
Community (Republic), mengaku prihatin atas kebrutalan yang menimpa aparat
penjaga keamanan itu.
Ia juga merasa prihatin ketika Komnas HAM diam saja atas persoalan ini.
Komnas HAM seakan kehilangan suara saat aparat penegak hukum jadi bulan-bulanan
massa.
“Memang sangat disayangkan ketika Komnas HAM yang selalu lantang
menyuarakan kemanusiaan, bungkam saat yang menjadi korban adalah aparat
Kepolisian. Seakan-akan sudah seharusnya demikian. Padahal mereka juga
manusia,” jelas Fakhruddin Muchtar kepada redaksi, Senin (27-06-2016).
UUD tentang Pasal 28D, nenurutnya, menjelaskan bahwa setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di depan hukum. Ini menunjukkan bahwa pasal
konstitusi yang terkait dengan Hak Asasi Manusia ini berlaku bagi setiap
manusia, tidak terkecuali bagi aparat penegak hukum.
“Klausul dengan proposisi positif universal, ‘Setiap orang’ ini menunjukkan
tidak ada pengecualian. Komnas HAM seharusnya memandang dan memperlakukan
anggota kepolisian layaknya manusia. Jangan hanya karena begitu sering berbeda
pendapat maka [Komnas HAM] enggan memberi dukungan saat kemanusiaan mereka
terinjak-injak. Jangan kebencianmu pada sekelompok orang membuatmu tidak
berlaku adil,” tambahnya.
Menurut Fakhruddin, sikap yang hanya menyuarakan kritik pada Kepolisian,
tetapi mendiamkan saat mereka yang menjadi koban kemanusiaan hanya akan
melahirkan kesan Komnas HAM memposisikan diri sebagai oposisi: Kepolisian
adalah lawan kemanusiaan. Sikap tidak berimbang semacam ini pada akhirnya hanya
akan menyuburkan antipati publik pada lembaga pelindung mereka. Terlihat dari
fakta bahwa anggota kepolisian yang hadir sebagai pelindung justru menjadi
korban bulan-bulanan pengeroyokan.
“Seharusnya Komnas HAM juga bisa memahami kondisi kebatinan aparat penegak
hukum. Bisa anda bayangkan bagaimana kondisi psikologis seseorang yang diminta
melindungi sekelompok orang yang justru membencinya? Mau menerima tugas ini
saja sudah sebuah pengorbanan besar, apalagi sampai mau membahayakan nyawa
sendiri. Dan itulah yang terjadi! Perlu berapa korban nyawa sampai mereka
dianggap manusia?”
Memelihara antipati masyarakat kepada para pelindungnya hanya akan
berdampak buruk bagi masa depan keutuhan negara. Menurutnya, ketika aparat
sudah mulai ikut tidak perduli karena melindungi tetapi justru terus dimusuhi,
maka tidak sulit bagi pihak asing untuk menaklukkan Republik Indonesia.
“Komnas HAM adalah suara kemanusiaan. Karena itu, sudah seharusnya ia
mengutuk segala bentuk tindakan tidak manusiawi yang terjadi di Republik ini,”
imbuhnya. “Bukan karena hal tersebut populis atau menarik simpati publik.
Tetapi karena tindakan itu bertentangan dengan nilai kemanusiaan!”