Terorisme dalam wujudnya sebagai ideologi dan sekaligus
memicu terjadinya tindak pidana, tak dapat dipungkiri membawa dua aspek
ancaman sekaligus terhadap negara, dengan merongrong kedaulatan negara
dan mengancam instabilitas keamanan. Namun demikian, permasalahannya,
bagaimana dan sejauh mana sejatinya Polri dan TNI dilibatkan secara
aktif dalam upaya-upaya penanggulangan bahaya terorisme.
Pengalaman
empiris secara global berbasis review PBB 2014 menegaskan, strategi
global mengatasi ancaman terorisme, sangat mengkedepankan proses
penegakan hukum yang menjunjung tinggi HAM. Upaya-upaya tersebut
sejatinya harus sejalan dengan penegakan prinsip-prinsip dasar negara
hukum dan demokrasi, sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945, termasuk
dalam upaya menjamin tercapainya efektivitas mengikis habis ideologi
terorisme itu sendiri.
Strategi global penanggulangan terorisme
dalam bentuk resolusi dan rencana dianeksasi aksi menurut Review PBB
2014, menegaskan peran strategis kepolisian sebagai institusi penegak
hukum di semua negara dalam menanggulangi bahaya terorisme, yang
mengupayakan: (1) mengatasi keadaan yang kondusif bagi penyebaran
terorisme, (2) langkah-langkah mencegah dan memberantas terorisme, (3)
langkah-langkah membangun kapasitas negara dan memperkuat peran PBB
dalam melakukan penganggulangan terorisme, serta (4) langkah-langkah
untuk menjamin penghormatan terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum
sebagai dasar fundamental untuk memerangi terorisme.
Secara jelas
digambarkan, upaya mengatasi keadaan yang mendukung bagi tumbuh suburnya
penyebaran terorisme, tidak semata hanya dilakukan dengan mengatasi
masalah konflik berkepanjangan yang belum terselesaikan, namun juga
harus sekaligus dilakukan dengan mencegah dehumanisasi korban terorisme
dalam segala bentuk dan manifestasinya, kurangnya penegakan hukum dan
pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi etnis, rasial dan agama,
pengucilan politik, marginalisasi sosial-ekonomi, dan rendahnya tata
kelola pemerintahan yang baik.
Usaha-usaha terbaik harus dilakukan
dengan pendekatan pencegahan konflik, mengkedepankan negosiasi,
mediasi, rekonsiliasi, penyelesaian hukum, penerapan aturan hukum, dan
perdamaian, dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pencapaian
resolusi damai. Peran stategis dari upaya preemptif, preventif dan
represif Polri menjadi bagian penting dalam upaya mencegah dan memerangi
terorisme, khususnya dalam mencegah dan menangkal akses teroris dalam
menggunakan sarana, mencapai sasaran dan target serangan, serta dampak
yang diinginkan dari serangan teroris.
Lebih lanjut, pengembangan
kapasitas negara sebagai elemen inti dari upaya kontra-terorisme, yang
diupayakan melalui berbagai langkah dengan mengembangkan kemampuan
negara dalam mencegah dan memberantas terorisme, juga tidak dapat
dilepaskan dari peran penting kepolisian di setiap negara. Kepolisian
dituntut membangun sinergi dengan semua stakeholder civil society dan
kekuatan-kekuatan lainnya yang dimiliki negara seperti BNPT sebagai
institusi pengemban penanggulangan terorisme secara sistematis dan
terencana, TNI dan lainnya, mengupayakan pendekatan kultural mengikis
habis ideologi terorisme, yang berkembang lebih jauh dan lebih dalam di
tengah-tengah masyarakat.
Pilar terakhir strategi global
penanggulangan terorisme, menyangkut perlindungan hak asasi manusia bagi
semua dan menjunjung tinggi aturan hukum, merupakan bagian penting dari
semua strategi, dan harus disadari bahwa tindakan kontra-terorisme yang
efektif dan perlindungan hak asasi manusia bukan merupakan tujuan yang
saling bertentangan, namun justru saling melengkapi dan saling
memperkuat, dengan memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil untuk
memerangi terorisme, mematuhi kewajiban di bawah hukum internasional,
hukum hak asasi manusia, hukum pengungsi dan hukum humaniter
internasional.
Sangat jelas, bahwa strategi 4 pilar kontra
terorisme global tidak dapat dilepaskan dari upaya penegakan hukum yang
berpegang pada prinsip due process of law sebagai ciri utama negara
hukum sebagaimana amanat UUD 1945, yang menjunjung tinggi keadilan dan
kepastian hukum, dengan memberikan penghormatan setinggi-tingginya
terhadap Hak Asasi Manusia. Kapasitas seperti ini hanya dimiliki oleh
institusi penegak hukum, yang sarat didukung dengan berbagai
suprastruktur (termasuk ketentuan perundang-undangan) dan infrastruktur,
mulai dari institusi, instrumentasi, dan kultur penegakan hukum.
Budaya
hukum hanya dimiliki oleh institusi penegak hukum, karena budaya hukum
menyangkut penerapan prosedur hukum, pemahaman delik dan sanksi pidana,
penerapan strategi penegakan hukum, termasuk upaya menjunjung HAM di
dalamnya, mulai dari proses penyidikan sampai masuk ke tahap peradilan.
Institusionalisasi penegakan hukum yang didukung instrumentasi, seperti
Bareskrim dan Densus 88 AT dengan dukungan labfor, tim DVI, pusinafis,
kedokteran forensik, ruang tahanan, penyimpanan alat bukti, dan lain
sebagainya menegaskan penanganan kasus terorisme dengan pendekatan
penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari peran sentral Polri.
Upaya
penegakan hukum yang melibatkan institusi non penegak hukum secara
tidak hati-hati, tidak cermat, dan mengabaikan prosedur atau tatanan
hukum secara umum, baik yang dilakukan secara taktis maupun diakomodasi
dalam peraturan perundang-undangan, justru hanya akan melahirkan
ketidakpastian hukum dan membahayakan upaya deradikalisasi ideologi
terorisme, yang pada akhirnya justru akan mengancam negara.
Penindakan
terorisme tanpa prosedur penegakan hukum, sehingga mengabaikan rasa
keadilan, kepastian hukum dan HAM, hanya akan menyisakan dendam kesumat
dan berpotensi semakin menyulut radikalisasi ideologi terorisme.
Terorisme yang telah bermetamorfosis menjadi kekuatan bersenjata, yang
nyata-nyata mengancam ideologi dan kedaulatan negara sebagai tindakan
makar, pada bagian ini harus dipastikan dihadapi dengan keterlibatan
kekuatan TNI sebagai tulang punggungnya, yang tentu saja harus didahului
dengan pernyataan status darurat militer.
Pada akhirnya, semua
pihak harus mengambil peran dan menyadari posisi strategis Polri dalam
penanganan bahaya dan tindak pidana terorisme melalui pendekatan
penegakan hukum, dengan mengkedepankan keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi, yang selaras
dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam amanat pasal 1
ayat 3 UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia yang dijamin pasal 28 UUD 1945 menyangkut hak
bebas dari penyiksaan, diskriminasi, dan mendapatkan pengakuan sebagai
pribadi di depan hukum.
Konsekuensinya, rancangan UU anti
terorisme harus menempatkan masing-masing kekuatan negara secara
proporsional sesuai dengan kewenangan, kapasitas dan daya dukung
operasional dan instusionalnya, tanpa melanggar amanat UUD 1945.
* Brigjen Pol Dr. Bambang Usadi MM, Karobankum Divkum Polri