![]() |
Oleh: Pof. Dr. La Ode Husen, SH., MHum |
A. Pendahuluan
Korban penyalahgunaan narkotika terus mengalami peningkatan, seakan
menafikan keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana, pada aspek lain kebijakan untuk mengapus rehabilitasi
korban penyalahgunaan narkotika juga bukan pilihan yang populer, seakan
tidak melihat kondisi obyektif yang terjadi di lembaga-lembaga
pemasyarakatan justru para pecandu narkotika yang telah berada di
lembaga pemasyarakatan sekalipun, tidak berhenti menggunakan narkotika.
Keinginan untuk menghapus rehabilitasi pengguna narkotika dan
menggantinya dengan pemidanaan dengan tujuan memberikan efek jera
(deterent efect) masih perlu dikaji secara komprehensif karena
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menegaskan bahwa
pengguna narkotika direhabilitasi, dan pemerintah tetap memberikan
dukungan anggaran untuk rehabilitas pengguna narkotika.
Untuk memberikan efek jera kepada pengguna narkotika, di samping
direhabilitasi, pemidanaan kepada pengghuna narkotika yang
berulang-berulang dalam kategori residivis dengan hukuman yang berat.
Bagaimanapun juga korban penyalahgunaan narkotika ini masih harus
mendapatkan perhatian serius dari Negara, mengingat korbannya adalah
generasi muda apalagi masih dalam usia sekolah, sementara sistem
peradilan pidana di Indonesia belum baik.
Pada sisi lain, penegakan hukum yang terjadi saat ini telah
menggambarkan semakin menjauhnya keadilan dari masyarakat. Penegakan
hukum yang belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, tidak
memberikan efek jera, tetapi justru menjadi tempat belajar untuk
melakukan kejahatan. Pada aspek lain, timbulnya kecemasan akan
terjadinya kegoncangan yang terjadi dalam lembaga pemasyarakatan yang
disebabkan oleh karena lembaga pemasayarakatan telah dipenuhi oleh para
pelaku tindak pidana, akibat dari padatnya penghuni lapas, sehingga
sering terjadi konflik antara sesama penghuni lapas dan dengan petugas
lapas yang cenderung terjadi korban dan bahkan terjadi pembakaran lapas,
pada sisi lain lapas justru telah menjadi tempat peredaran Narkotika.
B. Kewenangan Merehabilitasi Pengguna Narkotika
Wacana-wacana menghapus rehabilitasi pengguna narkotika, juga mempunyai
argumentasi yang masuk akal. Hal ini didasarkan atas fenomena yang
terjadi pada proses penegakan hukum antara lain seringnya terjadi
penyalahgunaan kewenangan dalam memberikan rehabilitasi. Jika hal ini
terjadi maka yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan
pengawasan terhadap penyidik. Jika saja pengawasan penyidik itu efektif,
maka penyalahgunaan kewenangan itu dapat dicegah. Jadi jangan aparatur
penegak hukum yang bermasalah kemudian yang menjadi korban
penyalahgunaan keweanngan itu, justru korban penyalahgunaan narkotika,
hal ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Jadi kewenangan untuk menentukan seseorang pengguna narkotika itu yang
harus mendapat perhatian perubahannya, tidak saja diberikan kepada
diskresi kepolisian. Ketentuan Pasal 103 UU Narkotika: menegaskan bahwa
Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat memutus untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah
melakukan tindak pidana Narkotika; atau menetapkan untuk memerintahkan
yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah
melakukan tindak pidana Narkotika dan Masa menjalani pengobatan dan/atau
perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud diperhitungkan
sebagai masa menjalani hukuman.
Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kewenangan untuk menentukan
dapat tidaknya seseorang pengguna direhabilitasi tidak lansung diberikan
oleh penyidik akan tetapi harus menunggu putusan pengadilan terlebih
dahulu, putusan hakimlah yang menentukan apakah penguna menjalani
rehabilitasi atau tidak berdasarkan pada terbukti atau tidaknya tindak
pidana yang dilakukan. Pengguna narkotika yang telah terbukti
menggunakan narkotika belum bisa disebut melakukan tindak pidana
narkotika. Kewenangan untuk menentukan seseorang itu direhabilitasi yang
diberikan kepada penyidik hanya bisa dilakukan jika ada penetapan
pengadilan.
C. Rehabilitasi Pengguna Narkotika
Lazimnya seseorang yang ditetapkan sebagai pengguna narkotika atau
seseorang diketahui telah menggunakan narkotika atau sejenisnya setelah
terlebih dahulu menjalani proses pemeriksaan melalui tes urine. Dalam
banyak kasus seseorang telah dinyatakan positif menggunakan narkotika
setelah tes urine barulah orang itu dinyatakan sebagai tersangka, yang
selanjutnya dilakukan upaya paksa oleh penyidik, kecuali seseorang yang
tertangkap tangan dari hasil penggerebekan lazimnya langsung dinyatakan
sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Sudah barang
tentu ada perbedaan perlakuan antara pengguna yang diketahui karena ada
pemeriksan tes urine, dengan pengguna yang tertangkap tangan, meskipun
dalam praktik sulit dibedakan pengguna yang sudah lama dengan pemula.
Rehabilitasi pengguna narkotika harus dilakukan karena perintah
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, bahwa rehabilitasi diberikan kepada
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Rehabilitasi itu bisa
rehabilitasi medis dan juga rehabilitasi sosial. Rehabilitasi Medis
adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan
pecandu dari ketergantungan Narkotika. Sedangkan Rehabilitasi Sosial
adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika adalah wujud
kepedulian negara akan masa depan bangsa ini dan harus dipertahankan dan
diberi penguatan, bukan ditiadakan atau dihapus, karena persoalan
penyalahgunaan narkotika ini tidak akan selesai hanya dengan tindakan
penegakan hukum represif saja, yang berujung pada pemidanaan yang
ditempatkan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) justru tidak menyembuhkan
atau mengilangan penyakit adiksi. Oleh karena itu, tindakan pre-emptif
dan preventif juga lebih diutamakan. Perintah undang-undang harus lebih
diutamakan untuk kepentingan masa depan korban penyalahgunaan narkotika
dan kepastian hukumnya.
LAershi